Archive for Maret, 2010

TETANUS NEONATORUM

Tetanus neonatorum merupakan tetanus yang terjadi pada bayi yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi melalui tali pusat. Penyakit ini disebabkan oleh Clostridium tetani yang bersifat anaerob, dimana kuman tersebut berkembang pada keadaan tanpa oksigen. Tetanus pada bayi dapat disebabkan karena tindakan pemotongan tali pusat yang tidak steril. Masa inkubasi penyakit ini antara 5-14 hari.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan keperawatan pada klien dengan tetanus neonatorum adalah sebagai berikut.
1. Untuk mengatasi gangguan fungsi pernapasan, maka intervensi yang dapat dilakukan adalah atur posisi bayi dengan kepala ekstensi, berikan oksigen sampai 1-2 liter/menit dan apabila terjadi kejang tinggikan kebutuhan oksigen sampai 4 liter/menit, setelah kejang hilang, turunkan. Lakukan penghisapan lendir, dan pasangkan spatula lidah untuk mencegah lidah jatuh ke belakang. Lakukan observasi tanda vital setiap setengah jam. Berikan lingkungan dalam keadaan hangat, jangan memberikan lingkungan yang dingin, karena dapat menyebabkan apnea. Melakukan kolaborasi dengan dokter dalam pemberian diazepam dengan dosis awal 2,5 mg intravena selama 2-3 menit kemudian dilanjutkan dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari, setelah keadaan klinis membaik dapat dilakukan pemberian ATS dengan dosis 10.000 U/hari, juga ampisilin 100 mg/kgBB/hari.
2. Perawatan saat kejang dilakukan untuk mencegah lidah tergigit, anoksia, jatuh ke belakang sehingga menutupi jalan napas, dan mencegah kejang ulang dengan cara sebagai berikut :
• Baringkan anak dengan posisi telentang serta kepala dimiringkan dan ekstensi
• Pasang spatel lidah dengan dibungkus kain kasa
• Berikan oksigen
• Lakukan kompres
• Lakukan observasi tanda vital dan sifat kejang.
3. Pemantauan tanda-tanda dehidrasi dan kekurangan nutrisi, seperti intake dan output, membrane mukosa, turgor kulit, dan lain-lain. Selanjutnya dapat diberikan cairan melalui infuse dengan cairan glukosa 10% dan natrium bikarbonat apabila pasien sering kejang dan apnea. Apabila kejang sudah berkurang, pemberian nutrisi dapat dilakukan melalui pipa lambung.

Sumber :
1. Hidayat, Alimul Aziz. A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Leave a comment »

KELEBIHAN GAS (FLATULENS) DALAM MASA KEHAMILAN

Penyebab

Relaksasi akibat hormone progesterone otot polos yang menyebabkan penurunan motilitas usus, mengakibatkan terjadinya kantong gas. Hal ini dapat menyebabkan pembengkakan, nyeri gas, dan flatulens.

Pengumpulan Data
Subjektif

1. Deskripsi awitan, frekuensi, lama dan karakter masalah
2. Identifikasi asuhan makan yang berhubungan dengan masalah (mis. Intoleransi susu)
3. Pengingatan diet 24 jam
4. Identifikasi riwayat masalah yang sama sebelum kehamilan

Objektif
1. Inspeksi abdomen untuk adanya distensi
2. Palpasi abdomen untuk konfirmasi

Diagnosis Banding
Perubahan gastrointestinal normal dalam kehamilan masalah gastrointestinal lainnya, etiologi tidak diketahui.

Intervensi
Perubahan usus dalam kehamilan harus dijelaskan dengan menghindari masalah makanan seperti bawang putih, kacang-kacangan, bunga kol, kol dapat membantu. Minum yoghurt atau minuman susu dapat mempertahankan flora normal usus.

Indikasi Untuk Rujukan
Rujukan untuk intervensi medis jarang dibutuhkan .

Sumber :
1. Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.

Leave a comment »

KONSTIPASI DALAM MASA KEHAMILAN

Penyebab
Progesterone menyebabkan otot polos berelaksasi yang mengakibatkan menurunnya motilitas pada usus dan menyebabkan wanita mengalami konstipasi dalam kehamilan. Motilitas yang tertunda, seiring dengan meningkatnya jumlah aldosteron dan angiotensin, mengarah pada meningkatnya penyerapan air yang mengakibatkan feses keras. Perubahan dalam diet dan olahraga, kurangnya cairan secara adekuat, dan penggunaan suplemen zat besi juga berperan terhadap munculnya masalah ini. Selanjutnya, peningkatan ukuran uterus pada uterus yang hamil mempersulit aktivitas mengejan sambil membungkuk, karenanya menurukan dorongan untuk mengeluarkan feses.
Pengumpulan Data
Subjektif

1. Penjelasan pola defekasi yang biasa
2. Penjelasan pola saat ini
3. Identifikasi penggunaan laksatif sebelumnya dan saat ini
4. Catatan diet 24 jam, termasuk semua cairan dikonsumsi
5. Identifikasi tindakan menyembuhkan diri sendiri yang dapat memperbaiki atau memperburuk kondisi
6. Indentifikasi karakteristik nyeri abdomen
Objektif
Palpasi abdomen untuk mengidentifikasi massa, pembengkakan, nyeri tekan.
Diagnosis banding
1. Perubahan defekasi normal pada kehamilan yang disebabkan diet atau kekurangan cairan
2. Konstipasi yang berhubungan dengan patologi gastrointestinal
Intervensi
Penjelasan mengenai perubahan normal dalam kehamilan yang mempredisposisikan ibu pada konstipasi harus diberikan. Cara pencegahan, meliputi diet termasuk cairan (paling sedikit 6-8 gelas sehari), meningkatkan diet serat, meningkatkan konsumsi buah segar dan sayuran, identifikasi makanan tertentu yang menstimulasi aktivitas defekasi (prem, jus prem, dan minuman panas) harus digali. Jika dibutuhkan, penggunaan laksatif serat mungkin direkomendasikan. Dosis bergantung pada produknya, intruksi pada kemasan harus diikuti. Docusate sodium (100 mg BID) untuk penggunaan jangka pendek mungkin tepat. Minyak mineral dikontraindikasikan karena mencegahan penyerapan vitamin yang dapat larut dalam lemak. Diskusi mengenai pencegahan ketergantungan terhadap laksatif harus dimasukkan dalam konseling. Diskusi mengenai pencegahan ketergantungan terhadap laksatif harus dimasukkan dalam konseling. Diskusi mengenai rutinitas harian dapat mengidentifikasi perilaku seperti mengabaikan keinginan defekasi, yang akan menghambat fungsi normal defekasi.
Masase abdomen yang kuat searah jarum jam dapat merangsang peristaltic. Pemberian akupresur sebentar, sekitar 10 detik pada titik tengah antara pubis dan umbilicus selama kira-kira 10 menit, dapat juga merangsang aktivitas defekasi.
Indikasi Untuk Rujukan
Konstipasi yang tidak membaik dengan perubahan diet dan laksatif membutuhkan evaluasi medis lebih lanjut. Perubahan kebiasaan defekasi diikuti dengan nyeri abdomen hebat atu perdarahan rectal yang membutuhkan konsultasi atau rujukan untuk evaluasi si medis.

Sumber :
1. Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.

Leave a comment »

PREEKLAMPSIA RINGAN

Konsep Dasar Preeklampsia

Pengertian Preeklampsia Ringan

Preeklampsia adalah perkembangan hipertensi, protein pada urin dan pembengkakan, dibarengi dengan perubahan pada refleks (Curtis, 1999).
Preeklampsia adalah suatu penyakit vasospastik, yang melibatkan banyak sistem dan ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi, dan proteinuria (Bobak, dkk., 2005).
Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Prawirohardjo, 2008).

Etiologi / Penyebab

Preeklampsia ialah suatu kondisi yang hanya terjadi pada kehamilan manusia. Tanda dan gejala timbul hanya selama hamil dan menghilang dengan cepat setelah janin dan plasenta lahir. Tidak ada profil tertentu yang mengidentifikasi wanita yang akan menderita preeklampsia. Akan tetapi, ada beberapa faktor resiko tertentu yang berkaitan dengan perkembangan penyakit: primigravida, grand multigravida, janin besar, kehamilan dengan janin lebih dari satu, morbid obesitas. Kira-kira 85% preeklampsia terjadi pada kehamilan pertama. Preeklampsia terjadi pada 14% sampai 20% kehamilan dengan janin lebih dari satu dan 30% pasien mengalami anomali rahim yang berat. Pada ibu yang mengalami hipertensi kronis atau penyakit ginjal, insiden dapat mencapai 25%. Preeklampsia ialah suatu penyakit yang tidak terpisahkan dari preeklampsia ringan sampai berat, sindrom HELLP, atau eklampsia (Bobak, dkk., 2005).

Patofisiologi

Patofisiologi preeklampsia-eklampsia setidaknya berkaitan dengan perubahan fisiologis kehamilan. Adaptasi fisiologis normal pada kehamilan meliputi peningkatan volume plasma darah, vasodilatasi, penurunan resistensi vaskular sistemik (systemic vascular resistance SVR), peningkatan curah jantung, dan penurunan tekanan osmotik koloid. Pada preeklampsia, volume plasma yang beredar menurun, sehingga terjadi hemokonsentrasi dan peningkatan hematokrit maternal. Perubahan ini membuat perfusi organ maternal menurun, termasuk perfusi ke unit janin-uteroplasenta. Vasospasme siklik lebih lanjut menurunkan perfusi organ dengan menghancurkan sel-sel darah merah, sehingga kapasitas oksigen maternal menurun.
Vasospasme merupakan sebagian mekanisme dasar tanda dan gejala yang menyertai preeklampsia. Vasospasme merupakan akibat peningkatan sensivitas terhadap tekanan peredaran darah, seperti angiotensin II dan kemungkinan suatu ketidakseimbangan antara prostasiklin prostatglandin dan tromboksan A2.
Peneliti telah menguji kemampuan aspirin (suatu inhibitor prostatglandin) untuk mengubah patofisiologi preeklampsia dengan mengganggu produksi tromboksan. Investigasi pemakaian aspirin sebagai suatu pengobatan profilaksis dalam mencegah preeklampsia dan rasio untung-rugi pada ibu dan janin/neonatus masih terus berlangsung. Peneliti lain sedang mempelajari pemakaian suplemen kalsium untuk mencegah hipertensi pada kehamilan.
Selain kerusakan endotelial, spasme arterial turut menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler. Keadaan ini meningkatkan edema dan lebih lanjut menurunkan volume intravaskular, mempredisposisi mudah menderita edema paru.
Hubungan sistem imun dengan preeklampsia menunjukan bahwa faktor-faktor imunologi memainkan peran penting dalam perkembangan preeklampsia. Keberadaan protein asing, plasenta, atau janin bisa membangkitkan respons imunologis lanjut. Teori ini didukung oleh peningkatan insiden preekampsia-eklampsia pada ibu baru (pertama kali terpapar jaringan janin) dan pada ibu hamil dari pasangan yang baru.

Patofisiologi

Patofisiologi preeklampsia mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dengan menginduksi edema otak dan meningkatkan resistensi otak. Komplikasi meliputi nyeri kepala, kejang, dan gangguan penglihatan (skotoma) atau perubahan keadaan mental dan tingkat kesadaran. Komplikasi yang mengancam jiwa ialah eklampsia atau timbul kejang (Bobak, dkk., 2005).

Patologi

Berbagai teori mengenai asal preeklampsia telah diajukan, tetapi baru-baru ini tidak terdapat penjelasan yang lengkap tentang penyebab gangguan ini. Respons imun abnormal, gangguan endokrin, predisposisi genetik, kelebihan atau kekurangan nutrisi, dan gangguan ginjal semua diajukan sebagai berperan pada terjadinya preeklampsia. Banyak sumber menyetujui bahwa penyebab preeklampsia adalah multifaktor antara lain nulipara, usia maternal lebih dari 35 tahun, usia ibu kurang dari 18 tahun, riwayat keluarga hipertensi akibat kehamilan (HAK), dan riwayat HAK pada kehamilan sebelumnya.
Vasospasme paling mungkin sebagai penyebab proses penyakit. Ketika vasospasme berlanjut, terjadi kerusakan pada dinding pembuluh darah, yang mengakibatkan mengalirnya trombosit dan fibrin ke dalam lapisan subendotel dinding pembuluh darah. Hal ini diketahui bahwa ibu yang mengalami preeklampsia mempunyai sensivitas pada angiotensin II, yang dianggap menjadi kontributor utama untuk proses vasospasme. Vasokonstriksi juag berperan pada kerusakan sel darah merah ketika melewati diameter pembuluh darah yang bgerkurang ukurannya. Vasospasme akhirnya menimbulkan hipoksia jaringan lokal pada berbagai si stem organ, termasuk plasenta, hati, paru, otak, dan retina. Vasospasme serebral berperan pada gejala sakit kepala dan gangguan penglihatan serta dapat berlanjut menjadi stroke.
Vasospasme pada sistem ginjal berperan pada penurunan aliran darah ginjal. Sistem ginjal mengalami pembengkakan sel endotel glomerulus, lumen kapiler glomerulus berkonstriksi, dan filtrasi glomerulus dan selanjutnya menurun. Karena penurunan filtrasi, nitrogen urea darah serum, kreatinin, dan natrium meningkat; dan haluaran urin menurun. Retensi natrium selanjutnya sensivitas terhadap angiotensi II dan peningkatan volume cairan ektra seluler. Pada kasus berat, vasospasme dan pembentukan trombus arterial dapat menimbulkan nekrosis korteks renal.
Terjadinya edema umum karena kerusakan dinding pembuluh darah dan retensi cairan sekunder akibat penurunan filtrasi glomerulus. Ketika cairan bergeser dari ruang intravaskular ke ektravaskular terjadi hipovolemia dan hemokonsentrasi. Hal ini pada gilirannya menempatkan kebutuhan pada jantung sebagai presoreseptor pada organ mayor memberi umpan balik untuk meningkatkan curah jantung. Riset tentang curah jantung pada preeklampsia masih menjadi konflik. Beberapa penelitian telah menetapkan penurunan curah jantung yang dikaitkan dengan peningkatan tahanan vaskular perifer, sedangkan penilitian lain menemukan bahwa beberapa ibu dengan preeklampsia secara nyata mengalami peningkatan curah jantung dan penurunan tahanan perifer sampai penyakit menjadi berat.
Disfungsi hati pada preeklampsia dapat direntang dari perubahan enzim ringan sampai edema hepatik, edema subkapsular, atau hemoragi. Perubahan berat dapat terjadi sebagai nyeri kuadran kanan atas. Bila edema hepatik mewakili derajat edema umum yang mencakup edema serebral, nyeri kuadran kanan atas sering dikaitkan dengan derajat edema serebral yang mengakibatkan aktivitas kejang (eklampsia).
Kerusakan dinding pembuluh darah, dan kebocoran produk darah ke dalam ruang ektravaskular akhirnya menimbulkan koagulopati konsumtif serupa dengan koagulasi intravaskular diseminata. Mekanisme trombositopenia yang tampak pada preeklampsia tidak dipahami dengan baik. Satu teori adalah bahwa kerusakan endotel dikaitkan dengan agregasi dan destruksi tombosit. Gangguan mekanisme pembekuan normal dapat menimbulkan hemoragi dan kematian.
Beberapa ibu yang mengalami preeklampsia berlanjut mengalami sindrom HELLP, yang dikaitkan dengan progresi cepat proses patologis dan mengakibatkan hasil janin dan maternal sebaliknya. Ibu yang mengalami sindrom HELLP kemungkinan menunjukkan subset individual yang mengalami disfungsi endotel lebih berat, dan dianggap bahwa predisposisi ini mungkin bersifat genetik.
Disamping efek tidak langsung penurunan perfusi maternal pada janin, proses vasospasme juga secara langsung mempengaruhi plasenta. Lesi plasenta yang adalah akibat infrak selanjutnya menurunkan perfusi ke janin, yang menimbulkan intrauterine growth restriction (IUGR) dan hipoksia. Komplikasi yang dikaitkan dengan preeklampsia berat meliputi gangguan plasenta, gagal ginjal akut, abrupsio retina, gagal jantung, hemoragi serebral, IUGR, dan kematian maternal dan janin (Walsh, 2008).

Klasifikasi

Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Dari gejala-gejala klinik preeklampsia dapat dibagi menjadi preeklampsia ringan dan preeklampsia berat. Pembagian preeklampsia menjadi berat dan ringan tidaklah berarti adanya dua penyakit yang jelas berbeda, sebab seringkali ditemukan penderita dengan preeklampsia ringan dapat mendadak mengalami kejang dan jatuh dalam keadaan koma. Gambaran klinik preeklampsia bervariasi luas dan sangat individual. Kadang-kadang sukar untuk menentukan gejala preeklampsia mana yang timbul lebih dahulu.
Secara teoritik urutan-urutan gejala yang timbul pada preeklampsia ialah edema, hipertensi, dan terakhir proteinuria; sehingga bila gejala-gejala ini timbul tidak dalam urutan diatas dapat dianggap bukan preeclampsia.
a. Preeklampsia ringan merupakan suatu sindroma spesifik kehamilan dengan menurunnya perfusi organ yang berakibat terjadinya vasopasme pembuluh darah dan aktivasi endotel.
b. Preeklampsia berat merupakan preeklampsia dengan tekanan sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/24 jam (Prawirohardjo, 2008).

Diagnosis

Diagnosis preeklampsia dilakukan pada setiap kali pemeriksaan prenatal dengan mengukur tekanan darah ibu dan menguji protein urine. Diagnosis preeklampsia ringan ditegakkan berdasar atas timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan/atau edema setelah kehamilan 20 minggu (Prawirohardjo, 2008).
a. Hipertensi : sistolik/diastolik ≥140/90 mmHg. Kenaikan sistolik ≥30 mmHg dan kenaikan diastolik ≥15 mmHg tidak dipakai lagi sebagai kriteria preeklampsia.
b. Proteinuria : ≥ 300 mg/24 jam atau ≥ 1+ dipstik.
c. Edema :edema lokal tidak dimasukkan dalam kriteria preeklampsia, kecuali edema pada lengan, muka, dan perut, edema generalisata.
Prawirohardjo (2008) menjelaskan bahwa diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasar kriteria preeklampsia berat sebagaimana tercantum dibawah ini. Preeklampsia digolongkan preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut :
a. Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat dirumah sakit dan sudah menjalani tirah baring.
b. Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
c. Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/24 jam.
d. Kenaikan kadar kreatinin plasma.
e. Gangguan visus dan serebral : penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma dan pandangan kabur.
f. Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya kapsula Glisson).
g. Edema paru-paru dan sianosis.
h. Hemolisis mikroangiopatik.
i. Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat.
j. Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan aspartate aminotransferase.
k. Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat.
l. Sindrom HELLP (Prawirohardjo, 2008).

Pencegahan

Preeklampsia dan eklampsia merupakan komplikasi kehamilan yang berkelanjutan dengan penyebab yang sama. Pencegahan yang dimaksud ialah upaya untuk mencegah terjadinya preeklampsia pada perempuan hamil yang berisiko terjadinya preeklampsia (Prawirohardjo, 2008). Oleh karena itu, pencegahan atau diagnosis dini dapat mengurangi angka kejadian dan menurunkan angka kesakitan dan kematian.
Untuk dapat menegakkan diagnosis dini diperlukan pengawasan hamil yang teratur dengan memperhatikan kenaikan berat badan, kenaikan tekanan darah, dan pemeriksaan urin untuk menetukan proteinuria. Untuk mencegah kejadian preeklampsia ringan dapat dilakukan nasehat tentang dan berkaitan dengan preeklampsia :
a. Diet makanan. Makanan tinggi protein, rendah karbohidrat, cukup vitamin, rendah lemak. Makanan berorientasi pada empat sehat lima sempurna.
b. Cukup istirahat. Istirahat yang cukup pada hamil semakin tua dalam arti bekerja seperlunya dan disesuaikan dengan kemampuan. Lebih banyak duduk atau berbaring kea rah punggung janin sehingga aliran darah menuju plasenta tidak mengalami gangguan.
c. Pengawasan antenatal. Bila terjadi perubahan peraan dan gerak janin dalam rahim segera datang ke tempat pemeriksaan. Keadaan yang memerlukan perhatian :
1. Uji kemungkinan preeklampsia :
a) Pemeriksaan tekanan darah atau kenaikannya
b) Pemeriksaan tinggi fundus uteri
c) Pemeriksaan kenaikan berat badan atau edema
d) Pemeriksaan protein dalam urine
e) Kalau mungkin dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, gambaran darah umum, dan pemeriksaa retina mata.
2. Penilaian kondisi janin dalam rahim
a) Pemeriksaan tinggi fundus uteri
b) Pemeriksaan janin : gerakan janin dalam rahim, denyut jantung janin, pemantauan air ketuban
c) Usulkan untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi (Curtis, 1999).
Penanganan
Penanganan preeklampsia bertujuan untuk menghindari kelanjutan menjadi eklmapsia dan pertolongan kebidanan dengan melahirkan janin dalam keadaan optimal dan bentuk pertolongan dengan trauma minimal (Curtis, 1999).
Ibu hamil dengan preeklampsia ringan dapat dirawat secara rawat jalan. Dianjurkan ibu hamil banyak istirahat (berbaring/tidur miring), tetapi tidak harus tirah baring. Pada umur kehamilan diatas 20 minggu, tirah baring dengan posisi miring menghilangkan tekanan rahim pada vena kava inferior, sehingga meningkatkan aliran darah balik dan akan menambah curah jantung. Hal ini berarti pula meningkatkan aliran darah ke organ-organ vital. Penambahan aliran darah ke ginjal akan meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan diuresis. Diuresis dengan sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas kardiovaskular, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta, dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan retriksi garam sepanjang fungsi ginjal masih normal. Pada preeklampsia, ibu hamil umumnya masih muda, berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu retriksi garam. Diet yang mengandung 2 g natrium atau 4-6 g NaCl (garam dapur) adalah cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam melalui ginjal. Tetapi pertumbuhan janin membutuhkan lebih banyak konsumsi garam. Bila konsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan konsumsi cairan yang banyak, berupa susu atau air buah.
Diet diberikan cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya, dan roboransia prenatal. Ridak diberikan obat-obat diuretik, antihipertensi, dan sedatif. Dilakukan pemeriksaan laboratorium hemoglobin, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap, dan fungsi ginjal.
Pada keadaan tertentu ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat dirumah sakit. Kriteria preeklampsia ringan dirawat di rumah sakit, ialah (a) bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria selama 2 minggu; (b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorik.
Pemeriksaan kesejahteraan janin, berupa pemeriksaan USG dan Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi dengan bagian mata, jantung, dll.
Pada kehamilan preterm (<> 37 minggu), persalinan ditunggu sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara spontan; bila perlu memperpendek kala II.
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur :
a. Sikap terhadap penyakit, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis.
b. Sikap terhadap kehamilannya ialah :
1) Aktif : manajemen agresif, kehamilan diakhiri (terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.

Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring kiri ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi factor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid /pulmonary capilly wedge pressure (Prawirohardjo, 2008).

Sumber:
Bobak, dkk. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas. Jakarta: EGC
Prawirohardjo, S. 2008. Ilmu Kebidanan Edisi Keempat. Jakarta: YBP-SP
Curtis, Glade B. 1999. Apa Yang Anda Hadapi Minggu Per Minggu Kehamilan. Jakarta : Arcan.
Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.

Leave a comment »

Teori Malaria Pada anak

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Malaria
2.1.1 Pengertian
Malaria adalah penyakit yang bersifat akut maupun kronik disebabkan oleh protozoa genus plasmodium yang ditandai dengan demam, anemia dan splenomegali (Mansjoer dkk., 2001).
Malaria adalah sejenis penyakit menular yang dalam manusia sekitar 350-500 juta orang terinfeksi dan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun, terutama di daerah tropis dan di Afrika di bawah gurun Sahara (Wikipedia, 2002).
2.1.2 Etiologi
Malaria disebabkan oleh protozoa dari genus plasmodium. Pada manusia plasmodium terdiri dari empat spesies, yaitu plasmodium falciparum, plasmodium vivax, plasmodium malariae, dan plasmodium ovale. Plasmodium falciparum merupakan penyebab infeksi berat bahkan dapat menimbulkan kematian. Keempat spesies plasmodium yang terdapat di Indonesia yaitu plasmodium falciparum yang meyebabkan malaria tropika, plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana, plasmodium malariae yang menyebabkan malaria kuartana dan plasmodium ovale yang menyebabkan malaria ovale (Soedarmo, dkk., 2008).
Malaria biasanya didapat dari gigitan nyamuk anopheles betina yang sebelumnya terinfeksi. Pada keadaan lain, malaria berkembang pasca-penularan transplasenta atau sesudah transfusi darah yang terinfeksi. Masa inkubasi (antara gigitan nyamuk yang terinfeksi dan adanya parasit dalam darah) bervariasi sesuai dengan spesies; pada P. falciparum masa inkubasinya 10 – 13; pada P.vivaks dan P. ovale, 12 – 16 hari; dan pada P. malariae 27 – 37 hari, tergantung pada ukuran inokulum. Malaria yang ditularkan melalui tranfusi darah yang terinfeksi nampak nyata pada waktu yang lebih pendek (Nelson, 2000).
Dalam daur hidupnya plasmodium mempunyai hospes yaitu vertebrata dan nyamuk. Siklus aseksual di dalam hospes vertebrata dikenal sebagai skizogoni, sedangkan siklus seksual yang membentuk sporozoit di dalam nyamuk sebagai sporogoni. Sporozoit yang aktif dapat ditularkan ke dalam tubuh manusia melalui ludah nyamuk kemudian menempati jaringan parenkim hati dan tumbuh sebagai skizon (stadium ekso-eritrositer atau stadium pra-eritrositer). Sebagian sporozoit tidak tumbuh dan tetap tidur (dormant) yang disebut hipnozoit (Soedarmo, dkk., 2008).
Plasmodium falciparum hanya terjadi satu kali stadium pra-eritrositer sedangkan spesies lain mempunyai hipnozoit bertahun-tahun sehingga pada suatu saat dapat aktif dan terjadilah relaps. Sel hati yang berisi parasit akan pecah dan terjadilah merozoit. Merozoit akan masuk ke dalam eritrosit (stadium eritrositer), tampak sebagai kromatin kecil dikelilingi oleh sedikit sitoplasma yang mempunyai bentuk cincin, disebut tropozoit. Tropozoit membentuk skizon muda dan setelah matang, membelah menjadi merozoit. Setelah proses pembelahan eritrosit akan hancur; merozoit, pigmen dan sel sisa akan keluar dan berada di dalam plasma. Parasit akan difagositosis oleh RES. Plasmodium yang dapat meghindar akan masuk kembali ke dalam eritrosit lain untuk mengulangi stadium skizogoni. Beberapa merozoit tidak membentuk skizon tetapi memulai dengan bagian gametogoni yaitu membentuk mikro dan makro gametosit (stadium seksual). Siklus tersebut disebut masa tunas intrinsik (Soedarmo, dkk., 2008).
Dalam tubuh nyamuk, parasit berkembang secara seksual (sporogoni). Sporogoni memerlukan waktu 8-12 hari. Dalam lambung nyamuk, makro dan mikrogametosit berkembang menjadi makro dan mikrogamet yang akan membentuk zigot yang disebut ookinet, yang selanjutnya menembus dinding lambung nyamuk membentuk ookista yang membentuk banyak sporozoit. Kemudian sporozoit akan dilepaskan dan masuk ke dalam kelenjar liur nyamuk. Siklus tersebut disebut masa tunas ektrinsik. Secara umum, pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.3 Transmisi
Soedarmo, dkk. (2008) memaparkan, malaria dapat ditularkan melalui dua cara yaitu cara alamiah dan bukan alamiah.
1. Penularan secara alamiah (natural infection), melalui gigitan nyamuk Anopheles
2. Penularan bukan alamiah, dapat dibagi menurut cara penularannya, yaitu :
a. Malaria bawaan (kongenital), disebabkan adanya kelainan pada sawar plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada bayi yang dikandungnya. Selain plasenta penularan dari ibu kepada bayi melalui tali pusat.
b. Penularan secara mekanik terjadi melalui transfusi darah atau jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang tidak steril. Infeksi malaria melalui transfusi hanya menghasilkan siklus eritrositer karena tidak melalui sporozoit yang memerlukan siklus hati sehingga dapat diobati dengan mudah.
c. Penularan secara oral, pernah dibuktikan pada ayam (plasmodium gallinasium), burung dara (plasmodium relection) dan monyet (plasmodium knowlesi).
Pada umumnya sumber infeksi malaria pada manusia adalah manusia lain yang sakit malaria, baik dengan gejala maupun tanpa gejala klinis.
2.1.4 Klasifikasi malaria
Menurut Harijanto (2000) klasifikasi malaria berdasarkan jenis plasmodiumnya antara lain sebagai berikut :
1. Malaria Tropika (Plasmodium Falcifarum).
Malaria tropika/ falciparum merupakan bentuk yang paling berat, ditandai dengan panas yang ireguler, anemia, splenomegali, parasitemia yang banyak dan sering terjadi komplikasi. Masa inkubasi 9-14 hari. Malaria tropika menyerang semua bentuk eritrosit. Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Plasmodium ini berupa Ring/ cincin kecil yang berdiameter 1/3 diameter eritrosit normal dan merupakan satu-satunya spesies yang memiliki 2 kromatin inti (Double Chromatin).
Malaria falciparum dikelompokkan atas dua kelompok yaitu Malaria falciparum tanpa komplikasi yang digolongkan sebagai malaria ringan adalah penyakit malaria yang disebabkan Plasmodium falciparum dengan tanda klinis ringan terutama sakit kepala, demam, menggigil, dan mual tanpa disertai kelainan fungsi organ. Sedangkan malaria falciparum dengan komplikasi umumnya digolongkan sebagai malaria berat yang menurut WHO di definisikan sebagai infeksi Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan satu atau lebih komplikasi.
Klasifikasi penyebaran Malaria Tropika:
Plasmodium Falcifarum menyerang sel darah merah seumur hidup. Infeksi Plasmodium Falcifarum sering kali menyebabkan sel darah merah yang mengandung parasit menghasilkan banyak tonjolan untuk melekat pada lapisan endotel dinding kapiler dengan akibat obstruksi trombosis dan iskemik lokal. Infeksi ini sering kali lebih berat dari infeksi lainnya dengan angka komplikasi tinggi (Malaria Serebral, gangguan gastrointestinal, Algid Malaria, dan Black Water Fever).
2. Malaria Kwartana (Plasmodium Malariae)
Plasmodium Malariae mempunyai tropozoit yang serupa dengan Plasmoduim vivax, lebih kecil dan sitoplasmanya lebih kompak/ lebih biru. Tropozoit matur mempunyai granula coklat tua sampai hitam dan kadang-kadang mengumpul sampai membentuk pita. Skizon Plasmodium malariae mempunyai 8-10 merozoit yang tersusun seperti kelopak bunga/ rossete. Bentuk gametosit sangat mirip dengan Plasmodium vivax tetapi lebih kecil.
Ciri-ciri demam tiga hari sekali setelah puncak 48 jam. Gejala lain nyeri pada kepala dan punggung, mual, pembesaran limpa, dan malaise umum. Komplikasi yang jarang terjadi namun dapat terjadi seperti sindrom nefrotik dan komplikasi terhadap ginjal lainnya. Pada pemeriksaan akan di temukan edema, asites, proteinuria, hipoproteinemia, tanpa uremia dan hipertensi.
3. Malaria Ovale (Plasmodium Ovale)
Malaria Tersiana (Plasmodium Ovale) bentuknya mirip Plasmodium malariae, skizonnya hanya mempunyai 8 merozoit dengan masa pigmen hitam di tengah. Karakteristik yang dapat di pakai untuk identifikasi adalah bentuk eritrosit yang terinfeksi Plasmodium Ovale biasanya oval atau ireguler dan fibriated. Malaria ovale merupakan bentuk yang paling ringan dari semua malaria disebabkan oleh Plasmodium ovale. Masa inkubasi 11-16 hari, walaupun periode laten sampai 4 tahun. Serangan paroksismal 3-4 hari dan jarang terjadi lebih dari 10 kali walaupun tanpa terapi dan terjadi pada malam hari.
4. Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax)
Malaria Tersiana (Plasmodium Vivax) biasanya menginfeksi eritrosit muda yang diameternya lebih besar dari eritrosit normal. Bentuknya mirip dengan plasmodium Falcifarum, namun seiring dengan maturasi, tropozoit vivax berubah menjadi amoeboid. Terdiri dari 12-24 merozoit ovale dan pigmen kuning tengguli. Gametosit berbentuk oval hampir memenuhi seluruh eritrosit, kromatinin eksentris, pigmen kuning. Gejala malaria jenis ini secara periodik 48 jam dengan gejala klasik trias malaria dan mengakibatkan demam berkala 4 hari sekali dengan puncak demam setiap 72 jam.
2.1.5 Patogenesis dan Patologi
Selama skizogoni, sirkulasi perifer menerima pigmen malaria dan produk samping parasit, seperti membran dan isi-isi sel eritrosit. Pigmen malaria tidak toksik, tetapi menyebabkan tubuh mengeluarkan produk-produk asing dan respon fagosit yang intensif. Makrofag dalam sistem retikuloendotelitial dan dalam sirkulasi menangkap pigmen dan menyebabkan warna agak kelabu pada sebagian besar jaringan dan organ tubuh. Pirogen dan racun lain yang masuk ke sirkulasi saat skizogoni, diduga bertanggung jawab mengaktifkan kinin vasoaktif dan kaskade pembekuan darah (Soedarmo, dkk., 2008).
Mengenai patogenesis malaria lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan terjadi anemia. Beratnya anemia yang tidak sebanding dengan parasitemia, menunjukkan adanya kelainan eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa dan keluarlah parasit. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi terhadap eritrosit. Suatu bentuk khusus anemia hemolitik pada malaria adalah black water fever, yaitu bentuk anemia hemoglobinuria, kegagalan ginjal akut akibat nekrosis tubulus, disertai angka kematian yang tinggi (Soedarmo, dkk., 2008).
Pada infeksi malaria, limpa akan membesar, mengalami pembendungan dan pigmentasi sehingga mudah pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag. Pada sindrom pembesaran limpa didaerah tropis atau penyakit pembesaran limpa pada malaria kronis biasanya dijumpai bersama dengan peningkatan kadar IgM. Peningkatan antibodi malaria ini mungkin menimbulkan respons imunologis yang tidak lazim pada malaria kronis (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.6 Patofisiologi
Gejala malaria timbul saat pecahnya eritrosit yang mengandung parasit. Gejala yang palig mencolok adalah demam yang diduga disebabkan oleh pirogen endogen, yaitu TNF dan interleukin-1. Akibat demam terjadi vasodilatasi perifer yang mungkin disebabkan oleh bahan vasoaktif yang diproduksi oleh parasit. Pembesaran limpa disebabkan oleh terjadinya peningkatan jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit, teraktivasinya sistem retikuloendotelial untuk memfagositosis eritrosit yang terinfeksi parasit dan sisa eritrosit akibat hemolisis. Juga terjadi penurunan jumlah trombosit dan leukosit neutrofil. Terjadinya kongesti pada organ lain meningkatkan resiko terjadinya ruptur limpa (Soedarmo, dkk., 2008).
Pertahanan tubuh individu terhadap malaria dapat berupa faktor yang diturunkan maupun yang didapat. Pertahanan terhadap malaria yang diturunkan terutama penting untuk melindungi anak kecil/bayi karena sifat khusus eritrosit yang relatif resisten terhadap masuk dan berkembang-biaknya parasit malaria. Masuknya parasit tergantung pada interaksi antara organel spesifik pada merozoit dan struktur khusus pada permukaan eritrosit (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.7 Manifestasi Klinis
Secara klinis, gejala malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), yang diselilingi oleh suatu periode (periode laten) bebas demam. Sebelum demam pasien biasanya merasa lemas, nyeri kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah. Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis plasmodium tetapi infeksi berulang dalam waktu berbeda), maka serangan demam terus-menerus (tanpa interval), sedangkan pada pejamu yang imun gejala klinis minimal.
Tanda dan gejala yang di temukan pada klien dngan malaria secara umum menurut Mansjoer dkk. (2001) antara lain sebagai berikut :
1. Demam
Demam periodik yang berkaitan dengan saat pecahnya skizon matang (sporolasi). Pada Malaria Tertiana (P.Vivax dan P. Ovale), pematangan skizon tiap 48 jam maka periodisitas demamnya setiap hari ke-3, sedangkan Malaria Kuartana (P. Malariae) pematangannya tiap 72 jam dan periodisitas demamnya tiap 4 hari. Tiap serangan di tandai dengan beberapa serangan demam periodik.
Gejala umum (gejala klasik) yaitu terjadinya “Trias Malaria” (malaria proxysm) secara berurutan :
a. Periode dingin.
Mulai menggigil, kulit kering dan dingin, penderita sering membungkus diri dengan selimut atau sarung dan pada saat menggigil sering seluruh badan bergetar dan gigi-gigi saling terantuk, pucat sampai sianosis seperti orang kedinginan. Periode ini berlangsung 15 menit sampai 1 jam diikuti dengan meningkatnya temperatur.
b. Periode panas.
Muka merah, kulit panas dan kering, nadi cepat dan panas tetap tinggi sampai 40C atau lebih, respirasi meningkat, nyeri kepala, nyeri retroorbital, muntah-muntah, dapat terjadi syok (tekanan darah turun), kesadaran delirium sampai terjadi kejang (anak). Periode ini lebih lama dari fase dingin, dapat sampai 2 jam atau lebih, diikuti dengan keadaan berkeringat.
c. Periode berkeringat.
Penderita berkeringat mulai dari temporal, diikuti seluruh tubuh, sampai basah, temperatur turun, penderita merasa capai dan sering tertidur. Bila penderita bangun akan merasa sehat dan dapat melakukan pekerjaan biasa.
2. Splenomegali
Splenomegali adalah pembesaran limpa yang merupakan gejala khas malaria kronik. Limpa mengalami kongesti, menghitam dan menjadi keras karena timbunan pigmen eritrosit parasit dan jaringan ikat bertambah.
3. Anemia
Derajat anemia tergantung pada spesies penyebab, yang paling berat adalah anemia karena falcifarum. Anemia di sebabkan oleh penghancuran eritrosit yang berlebihan, eritrosit normal tidak dapat hidup lama (reduced survival time), dan gangguan pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang.
4. Ikterus
Ikterus adalah diskolorasi kuning pada kulit dan sklera mata akibat kelebihan billirubin dalam darah. Billirubin adalah produk penguraian sel darah merah. Terdapat tiga jenis ikterus antara lain :
a. Ikterus hemolitik, disebabkan oleh lisisnya (penguraian) sel darah merah yang berlebihan. Ikterus ini dapat terjadi pada destruksi sel darah merah yang berlebihan dan hati dapat mengkonjugasikan semua billirubin yang di hasilkan.
b. Ikterus hepatoseluler, penurunan penyerapan dan konjugasi billirubin oleh hati terjadi pada disfungsi hepatosit dan di sebut dengan hepatoseluler.
c. Ikterus Obstruktif, sumbatan terhadap aliran darah ke empedu keluar hati atau melalui duktus biliaris di sebut dengan ikterus obstuktif.
Malaria laten adalah masa pasien diluar masa serangan demam. Periode ini terjadi bila parasit tidak dapat ditemukan dalam darah tepi, tetapi stadium eksoeritrosit masih bertahan dalam jaringan hati.
Relaps adalah timbulnya gejala infeksi setelah serangan pertama. Relaps dapat bersifat :
a. Relaps jangka pendek (rekrudesensi), dapat timbul 8 minggu setelah serangan pertama hilang karena parasit dalam eritrosit yang berkembang biak.
b. Relaps jangka panjang (rekurens), dapat muncul 24 minggu atau lebih setelah setelah serangan pertama hilang karena parasit eksoeritrosit hati masuk ke darah dan berkembang biak.
2.1.8 Komplikasi
Harijanto (2006), mengemukakan komplikasi yang mungkin terjadi akibat dari malaria yaitu :
1. Malaria serebral
2. Anemia berat
3. Gagal Ginjal Akut (urin <400>3mg%)
4. Edema paru atau ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome)
5. Hipoglikemia, kadar gula darah <40mg%
6. Gagal sirkulasi atau syok
7. Perdarahan spontan dari hidung, gusi, traktus digestivus, dan atau disertai kelainan laboratorik adanya gangguan koagulasi intravaskuler.
8. Kejang berulang lebih dari 2x dalam 24 jam setelah pendinginan pada hipertermia.
9. Makroskopik hemoglobinuria oleh karena infeksi malaria akut bukan karena obat anti malaria pada kekurangan Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase (G6PD)
2.1.9 Diagnosis
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium. Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopik atau tes diagnostik cepat (Depkes RI, 2006).
Pada daerah endemis diagnosis malaria tidak sulit, biasanya diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala serta tanda klinis. Tetapi walaupun di daerah bukan endemis malaria, diagnosis banding malaria harus dipikirkan pada riwayat demam tinggi berulang, apalagi disertai gejala trias yaitu demam, splenomegali, dan anemia. Perlu diingat bahwa diagnosis malaria merupakan hasil pertimbangan klinis dan tidak selalu disertai hasil laboratorium oleh karena beberapa kendala pada pemeriksaan laboratorium. Ditemukannya beberapa parasit dalam sediaan seorang anak penduduk asli yang semi-imun menunjukkan adanya infeksi, tetapi anak tersebut tidak selalu harus sakit; mungkin parasit ditemukan secara tidak sengaja pada saat anak berobat untuk penyakit lain (Soedarmo, dkk., 2008).
Pemeriksaan hapusan darah tepi tipis dengan pewarnaan Giemsa dan tetes tebal merupakan metode yang baik untuk diagnosis malaria. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi dapat dijumpai trombositopenia dan leukositosis. Peningkatan kadar ureum, kreatinin, bilirubin dan enzim seperti aminotransferase dan 5’-nukleotidase. Pada penderita malaria berat yang mengalami asidosis, dijumpai pH darah dan kadar bikarbonat rendah. Kekurangan cairan dan gangguan elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium dan fosfat) sering pula dijumpai. Kadar asam laktat dalam darah dan likuor serebrospinal juga meningkat (Soedarmo, dkk., 2008).
Tes serologis yang digunakan untuk diagnosis malaria adalah IFA (indirect fluorescent antibody test), IHA (indirect hemaglutination test) dan ELISA (enzyme linked immunosorbent assay). Kegunaan tes serologis untuk diagnosis malaria akut sangat terbatas, karena baru akan positif beberapa hari setelah parasit malaria ditemukan dalam darah. Jadi sampai saat ini tes serologi merupakan cara terbaik untuk studi epidemiologi (Soedarmo, dkk., 2008).
Teknik diagnostik lainnya adalah pemeriksaan QBC (quantitative buffy coat), dengan menggunakan tabung kapiler dan pulasan jingga akridin kemudian diperiksa di bawah mikroskopis fluoresens. Teknik mutakhir lain yang dikembangkan saat ini menggunakan pelacak DNA probe untuk mendeteksi antigen (Soedarmo, dkk., 2008).
Karena adanya berbagai variasi gejala malaria pada anak maka perlu dibedakan dengan demam oleh sebab penyakit lain seperti demam tifoid, meningitis, apendisitis, gastroenteritis, atau hepatitis. Malaria dengan klinis yang lebih ringan, harus dibedakan dengan atau penyakit virus lainnya (Soedarmo, dkk., 2008).
2.1.10 Pengobatan
Dalam pengobatan malaria, faktor pilihan dan penggunaan obat-obat antimalaria yang efektif disesuaikan dengan jenis kasus malaria yang dihadapi merupakan hal yang sangat penting. Di samping itu, tidak kalah penting adalah pengobatan penunjang, yang diperlukan untuk memperbaiki gangguan patofisiologi penderita sebagai komplikasi malaria yang berat, misalnya perbaikan keseimbangan cairan dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, mengatasi anemia, kejang, hiperpireksia, hipoglikemi, muntah, dan kegagalan fungsi ginjal (Usman, 2009).
Mansjoer dkk. (2001) mengemukakan berdasarkan suseptibilitas berbagai macam stadium parasit malaria terhadap obat antimalaria, maka obat antimalaria dapat juga dibagi dalam 5 golongan yaitu:
1. Skizontisida jaringan primer yang dapat membasmi parasit stadium praeritrosit dalam hati sehingga mencegah parasit masuk dalam eritrosit, jadi digunakan sebagai obat profilaksis kausal, yaitu pirimetamin.
2. Skizontisida jaringan sekunder yang dapat membunuh parasit siklus eksoeritrosit P. vivax dan P. ovale dan digunakan untuk pengobatan radikal sebagai obat anti relaps, yaitu primakuin.
3. Skizontisida darah yang membunuh parasit stadium eritrosit, yang berhubungan dengan penyakit akut disertai gejala klinik.
Obat ini digunakan untuk pengobatan supresif bagi keempat spesies Plasmodium dan juga dapat membunuh stadium gametosit P. vivax, P. malariae dan P. ovale, tetapi tidak efektif untuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah kuinin, klorokuin atau amodiakuin; atau proguanil dan pirimetamin yang mempunyai efek terbatas.
4. Gametositosida yang menghancurkan semua bentuk seksual termasuk gametosit P. falcifarum. Obatnya adalah primakuin sebagai gametositosida untuk keempat spesies dan kuinin, klorokuin atau amodiakuin sebagai gametositosida untuk P. vivax, P. malariae dan P. ovale.
5. Sporontosida yang dapat mencegah atau menghambat gametosit dalam darah untuk membentuk ookista dan sporozoit dalam nyamuk Anopheles. Obat – obat yang termasuk golongan ini adalah primakuin dan proguanil.
Obat yang dipakai untuk pengobatan malaria di Indonesia adalah klorokuin, primakuin, kina, pirimetamin, dan sulfadoksin (Soedarmo, dkk., 2008). Harijanto (2000) mengemukakan, obat anti malaria yang tersedia di Indonesia antara lain klorokuin, sulfadoksin-pirimetamin, kina, primakuin, serta derivat artemisin.
1. Klorokuin merupakan obat antimalaria standar untuk profilaksis, pengobatan malaria klinis dan pengobatan radikal malaria tanpa komplikasi dalam program pemberantasan malaria.
2. Sulfadoksin-pirimetamin digunakan untuk pengobatan radikal penderita malaria falciparum tanpa komplikasi.
3. Kina merupakan obat antimalaria pilihan untuk pengobatan radikal malaria falciparum tanpa komplikasi. Selain itu kina juga digunakan untuk pengobatan malaria berat atau malaria dengan komplikasi.
4. Primakuin digunakan sebagai obat antimalaria pelengkap pada malaria klinis, pengobatan radikal dan pengobatan malaria berat.
5. Artemisin digunakan untuk pengobatan malaria tanpa atau dengan komplikasi yang resisten multidrug.
Soedarmo, dkk. (2008) menjelaskan pengobatan malaria dibagi atas malaria ringan dan malaria berat (disertai komplikasi).
A. Malaria ringan tanpa komplikasi
Malaria ringan tanpa komplikasi dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan atau rawat inap sebagai berikut :
1. Klorokuin basa diberikan total 25 mg/kgBB selama 3 hari, dengan perincian sebagai berikut : hari pertama 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa), 6 jam kemudian dilanjutkan 10 mg/kgBB (maksimal 600 mg basa) dan 5 mg/kgBB pada 24 jam (maksimal 300 mg basa). Atau hari I dan II masing-masing 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB. Pada malaria tropika ditambahkan primakuin 0,75 mg/kgBB, 1 hari. Pada malaria tersiana ditambahkan primakuin 0,25 mg/kgBB/hari, 14 hari.
2. Bila dengan pengobatan butir 1 ternyata pada hari IV masih demam atau hari VIII masih dijumpai parasit dalam darah maka diberikan:
a. Kina sulfat 30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis, selama 7 hari atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 1-1,5 mg/kgBB atau sulfadoksin 20-30 mg/kgBB single dose (usia diatas 6 bulan). Obat ini tidak digunakan pada malaria tersiana.
3. Bila dengan pengobatan butir 2 pada hari IV masih demam atau pada hari VIII masih dijumpai parasit maka diberikan :
a. Tetrasiklin HCl 50 mg/kgBB/kali, sehari 4 kali selama 7 hari + fansidar/suldox bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2a, atau:
b. Tetrasiklin HCl + kina sulfat bila sebelumnya telah mendapat pengobatan butir 2b. Dosis kina dan fansidar/suldox sesuai butir 2a dan 2b (Tetrasiklin hanya diberikan pada umur 8 tahu atau lebih)
Obat Anti Malaria yang Masih Sangat Terbatas di Indonesia
1. Meflokuin
Tablet 274 mg meflokuin hidroklorida mengandung 250 mg meflokuin basa. Dosis untuk anak 15 mg meflokuin basa/kgBB, dosis tunggal, sebaiknya sesudah makan.
2. Halofantrin
Tablet 250 mg halofantrin hidroklorida mengandung 233 mg basa, sedangkan sirup tiap ml mengandung 100 mg halofantrin hidroklorida setara 93,2 mg basa. Dosis 24 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, yaitu 8 mg/kgBB tiap 8 jam dan diulang dengan dosis yang sama 1 minggu kemudian. Absorpsinya baik bila dimakan bersama makanan berlemak.
3. Artemisinin
Tablet/kapsul 250 mg. Dosis 10 mg/kgBB, sekali sehari selama 5 hari, untuk hari pertama diberikan dua dosis.
Pada saat ini sudah lebih dari 25 % provinsi di Indonesia telah terjadi multiresistensi terhadap obat standard yang cukup tinggi. Oleh karena itu Komisi Ahli Malaria (KOMLI) menganjurkan strategi baru pengobatan malaria pada daerah-daerah tersebut dan sesuai dengan rekomendasi WHO untuk secara global menggunakan obat artemisinin yang dikombinasi dengan obat lain. Pengobatan tersebut dikenal sebagai Artemisinin based Combination Therapy (ACT) (Soedarmo, dkk., 2008).
Derivat artemisinin:
1. Artesunat:
a. Tablet/kapsul 50 mg/200 mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan IM/IV; ampul 60 mg/ampul. Dosis 1,2 mg/kgBB sekali sehari selama 5 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
2. Artemether:
a. Tablet/kapsul 40 mg/50mg. Dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
b. Suntikan: ampul 80 mg/ampul. Dosis 1,6 mg/kgBB sekali selama 6 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
3. Dehidroartemisinin:
Tablet/kapsul 20 mg/60 mg/ 80 mg. dosis 2 mg/kgBB sekali sehari selama 4 hari; untuk hari pertama diberi 2 dosis.
4. Arheether:
Suntikan 150 mg/ampul, dalam bentuk β-artheether (artenotil). Dosis pertama 4,8 mg/kgBB, 6 jam kemudian 1,6 mg/kgBB, selanjutnya 1,6 mg/kgBB tiap hari- selama 4 hari.
Obat malaria kombinasi (ACT) yang tidak tetap saat ini misalnya :
1. Artesunat + Meflokuin
2. Artesunat + Amodiakuin
3. Artesunat + Klorokuin
4. Artesunat + Sulfadoksin-Pirimetamin
5. Artesunat + Pironoridin
6. Artesunat + Klorguanil-Dapson (CDA/Lapdap plus)
7. Dehidroartemisinin+ Piperakuin + Trimetoprim (Artecom)
8. Artecom + Primakuin (CVB)
9. Dehidroartemisinin + Naphtrokuin
Dari kombinasi tersebut diatas, yang tersedia di Indonesia saat ini adalah kombinasi artesunat + amodiakuin dengan nama dagang artesdiaquin atau artesumoon. Obat ini tersedia untuk program dan telah diedarkan di 10 provinsi yang terdapat resistensi tinggi (>25%) terhadap obat klorokuin dan sulfadoksin-pirimetamin. Dosis artesdiaquin merupakan gabungan artesunat 2 mg/kgBB sekali sehari selama 3 hari, untuk hari pertama diberi 2 dosis dan amodiakuin hari I dan II 10 mg/kgBB dan hari III 5 mg/kgBB.
Untuk pemakaian obat golongan artemisinin harus dibuktikan malaria positif, sedangkan bila hanya klinis malaria digunakan obat non-ACT.
Pemantauan Respon Pengobatan
Pemantauan respon pengobatan sangat penting untuk mendeteksi pengobatan malaria secara dini berdasarkan respon klinis dan pemeriksaan patologis. Dikatakan gagal pengobatan bila dijumpai salah satu criteria berikut :
1. Kegagalan pengobatan dini, bila :
a. Parasitemia dengan komplikasi malaria berat pada hari 1,2,3.
b. Parasitemia hari ke 2 > hari 0.
c. Parasitemia hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
d. Parasitemia hari ke 3 dengan suhu aksila > 37,5 C
2. Kegagalan pengobatan kasep, bila antara hari ke 4-28 dijumpai 1 atau lebih keadaan berikut :
a. Secara klinis dan parasitologi :
a) Adanya malaria berat setelah hari ke 3 dan parasitemia, atau
b) Parasitemia dan suhu aksila > 37,5 C pada hari ke 4-28 tanpa ada kriteria gagal pengobatan dini.
b. Secara parasitologi :
a) Adanya parasitemia pada hari ke 7, 14, 21, dan 28.
b) Suhu aksila < 37,5 C tanpa ada kriteria kegagalan pengobatan dini.
3. Respon klinis dan parasitologi memadai, apabila pasien sebelumnya tidak berkembang menjadi kegagalan butir no.1 atau 2 dan tidak ada parasitemia.
B. Malaria Berat
Penatalaksanaan malaria berat harus dapat dilakukan diagnosis dan tindakan secara cepat dan tepat sebagai berikut:
1. Tindakan umum/perawatan
2. Pemberian obat antimalaria/transfuse tukar
3. Pemberian cairan/nutrisi
4. Penanganan terhadap gangguan fungsi organ
Tindakan perawatan umum pada malaria berat di ruang intensif :
1. Pertahankan fungsi vital:sirkulasi, respirasi, kebutuhan cairan dan nutrisi
2. Hindari trauma: dekubitus, jatuh dari tempat tidur
3. Monitoring: suhu tubuh, nadi, tensi tiap ½ jam. Awasi ikterus dan perdarahan
4. Posisi tidur sesuai kebutuhan
5. Perhatikan warna dan suhu kulit
6. Cegah hiperpireksi
7. Pemberian cairan: oral, sonde, infus
8. Diet porsi kecil dan sering, cukup kalori, karbohidrat dan garam
9. Perhatikan kebersihan rambut
10. Perhatikan dieresis dan defekasi, aseptic kateterisasi
2.1.11 Pencegahan
Dalam upaya pemberantasan penyakit malaria, Usman (2009) memaparkan berapa langkah dalam pencegahan untuk menghindarkan diri dari gigitan nyamuk yang berakibat infeksi dan sebelum berlanjut ke pengobatan, antara lain:
1. Tidur dengan kelambu sebaiknya dengan kelambu impregnated (dicelup pestisida : pemethrin atau deltamethrin)
2. Menggunakan obat pembunuh nyamuk
3. Mencegah berada di alam bebas di mana nyamuk dapat mengigit atau harus memakai proteksi (baju dengan lengan panjang, kaus/stoking). Nyamuk akan menggigit diantara jam 18.00-06.00.
4. Memproteksi tempat tinggal/kamar tidur dari nyamuk dengan kawat/kelambu anti nyamuk.
5. Penyuluhan kesehatan hendaknya diselenggarakan terus-menerus di tingkat desa untuk membimbing masyarakat mengenal malaria, mendorong segera mencari pengobatan bila terserang malaria dan menyadarkan penduduk bahwa penyakit malaria dapat dicegah dan diberantas (Mahyuliansyah, 2009).
6. Peranan dan tanggung jawab masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit malaria perlu ditingkatkan antara lain dalam hal pelaksanaan upaya yang bersifat sederhana misalnya menggalakkan perilaku hidup bersih dan sehat, melaporkan kejadian penyakit malaria secepatnya (Mahyuliansyah, 2009).
Soedarmo, dkk. ( 2008), memaparkan pencegahan malaria sebagai berikut:
1. Pemakaian obat anti malaria
Semua anak dari daerah non-endemik apabila masuk ke daerah endemik malaria, maka 2 minggu sebelumnya sampai 4 minggu setelah keluar dari daerah endemic malaria, tiap minggu diberikan obat anti malaria.
a. Klorokuin basa 5 mg/kgBB (8,3 mg garam), maksimal 300 basa sekali seminggu atau
b. Fansidar atau suldox dengan dasar pirimetamin 0,50-0,75 mg/kgBB atau sulfadoksin 10-15 mg/kgBB sekali seminggu (hanya untuk umur 6 bulan atau lebih).
2. Vaksin malaria
Vaksin malaria merupakan tindakan yang diharapkan dapat membantu mencegah penyakit ini, tetapi adanya bermacam-stadium pada perjalan penyakit malaria menimbulkan kesulitan pembuatannya. Penelitian pembuatan vaksin malaria ditujukan pada 2 jenis vaksin, yaitu:
a. Proteksi terhadap ketiga stadium parasit: a. Sporozoit yang berkembang dalam nyamuk dan menginfeksi manusia, b. Merozoit yang menyerang eritrosit, dan c. Gametosit yang menginfeksi nyamuk;
b. Rekayasa genetika atau sintesis polipeptida yang relevan. Jadi, pendekatan pembuatan vaksin yang berbeda-beda mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung tujuan mana yang akan dicapai. Vaksin sporozoit Plasmodium Falciparum merupakan vaksin yang pertama kali diuji coba, dan apabila telah berhasil, dapat mengurangi mobiditas dan mortalitas malaria tropika terutama pada anak dan ibu hamil. Dalam waktu dekat akan diuji coba vaksin dengan rekayasa genetika.

sumber :
Hidayat, Alimul Aziz. A. 2008. Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
Nelson, Waldo E. 2000. Ilmu Kesehatan Anak edisi 15 vol. 2. Jakarta: EGC
Soedarmo, dkk. 2009. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis edisi kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI

Leave a comment »

Nyeri Tekan Payudara Pada Masa Kehamilan

Penyebab
Selama trimester pertama payudara mengalami perubahan dramatis. Estrogen menstimulasi proliferasi system duktus pada payudara. System glandular distimulasi oleh human placental lactogen, human chorionic gonadotropin, dan prolaktin; progesteron merangsang pertumbuhan lobules-lobulus. Selanjutnya, hormon-hormon ini merangsang alveoli untuk meningkatkan ukuran dan menggelapkan warnanya. Nyeri tekan pada payudara hamper selalu hilang pada akhir trimester pertama, meskipun pada beberapa wanita dapat berlanjut mengalami nyeri tekan selama kehamilan.
Pengumpulan Data
Subjektif
1. Penjelasan tenang awitan, frekuensi, lama, dan karakter nyeri tekan
2. Identifikasi beberapa daerah khusus nyeri tekan
3. Identifikasi status laktasi saat ini
Objektif
1. Inspeksi payudara untuk adanya tanda infeksi atau iritasi putting
2. Palpasi pyudara untuk adanya massa
Diagnosis Banding
1. Perubahan payudara normal dalam kehamilan
2. Mastitis
3. Mastalgia karena penyebab yang tidak dapat ditentukan
Intervensi
Praktisi harus berusaha meyakinkan tentang keadaan normal dalam kehamilan yang disebabkan oleh perubahan hormonal. Nyeri tekan dapat dihilangkan dengan memakai bra (BH) yang pas dipakai dan baik. Para wanita harus melihat karakteristik berikut ketika membeli bra untuk kehamilan dan menyusui:
1. Bra harus terbuat dari katun atau bahan berongga lainnya, bahan mudah dicuci yang akan menyerap keringat
2. Bra harus terbentuk untuk member sokongan yang kuat pada seluruh payudara
3. Jangan ada lipatan atau lapisan dalam yang akan meningkatkan tekanan pada daerah seputar payudara
4. Tali bahu dan punggung harus cukup lebar untuk mencegah tegangan disekitar bahu dan dibawah lengan.
Selanjutnya, praktisi harus mendiskusikan dampak ekspresi seksual dan berbagi kenyataan dengan pasangannya bahwa payudara nyeri tekan. Hubungan seksual yang melibatkan payudara mungkin perlu ditunda samapi nyeri tekan kembali normal.
Indikasi Untuk Rujukan
Jarang dibutuhkan rujukan pada nyeri tekan payudara normal dalam kehamilan. Mastitis dapat ditanggulangi sendiri berdasarkan kebijakan praktik. Pasien dengan massa di payudara atau mastalgia yang melebihi perubahan normal kehamilan harus dirujuk untuk dievaluasi medis.

Sumber :
1. Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.

Leave a comment »

Nyeri Punggung Pada Masa Kehamilan

Penyebab

Nyeri punggung bagian bawah merupakan masalah otot-tulang yang paling sering dilaporkan dalam kehamilan. Hormone progesterone dan relaksin menyebabkan sendi menjadi lunak, terutama sepanjang kolumna spinal, seperti pada perubahan pusat gravitasi seiring dengan kemajuan kehamilan, umumnya berperan pada keluhan nyeri punggung. Nyeri punggung bagian atas berhubungan dengan peningkatan ukuran payudara dan factor-faktor postural yang sering dihubungkan dengan kondisi pekerjaan. Nyeri punggung bagian bawah dihubungkan dengan lordosis yang diakibatkan jika peningkatan berat uterus menarik tulang belakang keluar dari garis tubuh. Tipe lain dari nyeri yang digambarkan oleh wanita, yaitu terjadi pada bagian belakang pelvis, sambungan lumbosakral distal dan dan lateral, menyebar ke bagian belakang paha. Kondisi ini berbeda dari skiatika jadi tidak spesifik pada distribusi serabut saraf dan tidak meluas ke pergelangan kaki atau telapak kaki. Relaksasi sendi sakroiliakadapat menyebabkan nyeri tipe ini. Prevalensi nyeri punggung bagian bawah meningkat sesuai paritas dan usia. Tidak terdapat hubungan antara tinggi badan, berat badan ibu hamil, peningkatan berat badan pada kehamilan atau berat badan janin dan nyeri punggung.

Pengumpulan Data

Subjektif

1. Gambaran tentang awitan, waktu, karakter nyeri

2. Gambaran tentang aktivitas yang berhubungan

3. Gambaran tentang intervensi yang mengurangi atau memperburuk nyeri

4. Identifikasi tentang riwayat masalah pada punggung

5. Identifikasi tentang riwayat trauma yang terjadi saat ini

6. Identifikasi tentang tanda bahaya yang berhubungan seperti gejala infeksi saluran kemih, kontraksi, peningkatan tekanan pelvis.

Objektif

1. Observasi postur tubuh saat berdiri dan saat duduk

2. Inspeksi kulit tehadap tanda-tanda trauma

3. Palpasi abdomen untuk mengidentifikasi kontraksi uterus

4. Identifikasi tempat berdiam janin

5. Identifikasi status serviks (jika ada tanda kelahiran preterm)

6. Palpasi untuk mengidentifikasi adanya nyeri tekan suprapubik dan sudut kostovertebra

7. Strip reagen atau kultur urin

Diagnosis Banding

1. Perubahan musculoskeletal pada kehamilan

2. Kelahiran preterm

3. Infeksi saluran kemih

4. Regangan otot atau memar sekunder akibat trauma, termasuk kekerasan fisik.

Intervensi

Jika pengkajian menemukan bahwa nyeri punggung berhubungan dengan perubahan postur dan berat badan dari kehamilan yang biasa, pendidikan terhadap factor penyebab harus diberikan. Olahraga, meliputi gerakan pelvis dan dan peregangan pada umumnya dapat meredakan nyeri punggung bawah. Perhatian pada postur untuk mengoreksi lordosis yang baik harus didemonstrasikan. Wanita harus diberi tahu untuk menggunakan sepatu yang nyaman, bertumit rendah, karena sepatu bertumit tinggi dapat membuat lordosis bertambah parah. Rendam atau mandi air hangat dapat memberi kenyamanan, terutama sebelum tidur. Posisi yang meningkatkan relaksasi otot punggung dapat dianjurkan, dijelaskan dan didemonstrasikan. Batal penyangga diantara kaki dan dibawah abdomen ketika dalam posisi berbaring miring biasanya sangat membantu. Bangun dari posisi telentang harus dilakukan dengan memutar tubuh ke arah samping dan bangun sendiri perlahan menggunakan lengan untuk penyangga.

Masase dapat memulihkan tegangan pada otot. Pasangan wanita dapat diajarkan untuk memberi tekanan kuat dengan menggunakan tumit atau tangan diatas daerah sacrum, dengan bimbingan wanita mengenai jumlah tekanan dan lokasinya untuk meningkatkan efek yang maksimum. Beberapa minyak khusus (seperti lavender dan chamomile) dapat digunakan untuk lebih meningkatkan relaksasi dan mengurangi rasa nyeri pada trimester tiga. Beberapa sumber melaporkan bahwa penggunaan minyak ini kontraindikasi pada trimester pertama. Akupresur, akupuntur dan manipulasi chiropractic juga apat menguntungkan.

Jika lordosis berhubungan dengan kurangnya tonus abdomen, pengikat abdomen atau korset dapat mengurangi. Penggunaan penyokong abdomen, seperti “loving lift” telah menunjukan dapat mengurangi gejala pada beberapa wanita. Benda-benda itu dapat dibeli di took khusus peralatan ibu hamil. Jika dibutuhkan obat analgesic, asetaminofen adalah obat pilihan karena aspirin dikontraindikasikan dalam trimester kedua dan ketiga. Nyeri punggung bagian atas berhubungan dengan meningkatnya ukuran payudara yang dapat dihilangkan dengan memperhatikan postur yang baik dan memakai bra yang nyaman. Karakteristik bra yang pas dipakai dijelaskan dibawah intervensi terhadap nyeri tekan payudara. Indikasi untuk rujukan Nyeri punggung yang berhubungan dengan tanda dari gejala infeksi saluran kemih atau kelahiran preterm membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Infeksi saluran kemih bawah dapat ditanggulangi secara terpisah berdasarkan kebijakan tindakan. Infeksi saluran kemih atas dan kelahiran preterm membutuhkan perawatan kolaborasi atau rujukan terhadap perawatan medis berdasarkan peraturan praktik.

Sumber:

1. Walsh, Linda V. 2008. Buku Ajar Kebidanan Komunitas. Jakarta : EGC.

Leave a comment »

Hello world!

Welcome to WordPress.com. This is your first post. Edit or delete it and start blogging!

Comments (1) »